MASYARAKAT BADUY YANG MENGALAMI PERUBAHAN
DALAM hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka
tidak mau menyantap makanan selain makanan tradisional yang mereka
santap setiap hari. Maklum, masyarakat yang tinggal di pedalaman
Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten, ini sangat memegang teguh adat istiadat nenek moyang
mereka hingga saat ini.
santap setiap hari. Maklum, masyarakat yang tinggal di pedalaman
Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten, ini sangat memegang teguh adat istiadat nenek moyang
mereka hingga saat ini.
MEREKA tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan
nenek moyang mereka. Mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang
dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi
tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini.
Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang,
tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orangtua mereka. Kalau
ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai
ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung
pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Akan tetapi, orang Baduy adalah manusia biasa yang punya
keinginan untuk sedikit berbeda. Ketika di antara mereka berjalan-
jalan menuju daerah lain atau bahkan hingga Jakarta dengan berjalan
kaki, ada juga yang ingin mencoba minuman Sprite atau Coca-Cola.
Ketika Kompas mengajak beberapa warga Baduy Dalam berjalan-jalan
hingga ke Rangkasbitung, di tengah jalan mereka haus. Saat ditawari
minum, mereka ternyata memilih minuman Coca-Cola di kotak minuman
pinggir jalan. Coca- Cola adalah jenis minuman yang tidak dikenal
kakek-nenek mereka.
“Saya pernah makan di McDonaldÆs,” tutur Jakri (29), salah
seorang warga Baduy Dalam. Makan di restoran waralaba dari Amerika
Serikat itu rasanya bukan hal yang aneh, namun terasa janggal untuk
Jakri yang berasal dari Kampung Cibeo, Kecamatan Leuwidamar.
MASYARAKAT Baduy hidup dengan aturan adat yang ketat. Di Baduy
Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar yang masih memperbolehkan
naik kendaraan.
Meskipun melihat berbagai barang berteknologi yang dibawa oleh
wisatawan, masyarakat Baduy Dalam masih mempertahankan adat mereka.
Mereka masih “setia” berjalan kaki, mengedepankan kejujuran,
menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok.
Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy
Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan
berkendaraan.
Menurut Jaro Cikeusik, Alim, apa yang dibawa masyarakat luar-
sepanjang tidak bertentangan dengan adat-tidak memengaruhi kehidupan
masyarakat Baduy Dalam. Jaro Alim menegaskan, adat yang dilanggar
diyakini bisa menyebabkan bencana alam dan mengundang berbagai
penyakit.
SUKU Baduy sering disebut urang Kanekes. Mereka tinggal di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini
berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung,
atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung
Baduy.
Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan
Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya.
Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping,
yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Untuk menuju Baduy Dalam, pengunjung bisa naik mobil dari
Rangkasbitung ke terminal Ciboleger atau menyewa sampai ke Cijahe,
lalu diteruskan dengan berjalan kaki untuk sampai ke kampung Baduy
Dalam.
DALAM keseharian, kaum lelaki dari Baduy Dalam menggunakan ikat
kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki
menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak
kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben
biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan
gelang dan kalung dari manik.
Lelaki dari Baduy Luar menggunakan ikat kepala biru bermotif
batik. Perempuannya menggunakan kain batik dan baju biru tua atau
hitam. Namun, banyak juga di antara mereka berkaus dan bercelana jins.
Menurut Yuli (33), warga Baduy Luar, dalam sebulan ratusan orang
datang ke Baduy. Mereka berlatar belakang pendidikan, ekonomi, dan
sosial yang beragam. Interaksi warga Baduy dengan masyarakat lain
menyebabkan perubahan gaya hidup warga Baduy.
Menurut pakar budaya dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI,
Prof Dr Ayatrohaedi (65), perubahan pada suatu masyarakat tidak dapat
dihalangi. Adat tak dapat berbuat banyak menghadapi perubahan. Adat
sering kali hanya menerapkan peraturan, namun tidak mampu
menindak.
Kalau dulu masyarakat Baduy cukup makan dengan nasi, ikan asin
dan garam, kini mereka gemar makan mi instan. Menurut Nasib (25),
salah seorang pedagang makanan yang berkeliling dari Baduy Luar
hingga Baduy Dalam, rata-rata sepekan ia bisa menjual 10 kardus atau
400 bungkus mi instan.
Tak cuma mi instan, menyantap spageti dengan sumpit pun tidak
membuat mereka kikuk. Awal September lalu, Narpa (45) dan dua
anaknya, serta beberapa lelaki Baduy lahap menyantap makanan Italia
yang disajikan tamu dari Jakarta yang menginap di rumahnya. Hanya
istri Narpa saja yang mengaku tidak doyan.
Pergeseran selera makan pun terjadi pada anak-anak. Jarmin (46),
warga Kampung Cibeo, mengaku, di masa anak-anak ia hanya memakan
pisang bakar sebagai camilan. Kini ia harus mengeluarkan Rp 10.000
untuk jajan tiga anaknya yang gemar camilan-camilan dalam kemasan,
permen, atau minuman kemasan.
Penjual makanan datang dari luar Cibeo sebab masyarakat Baduy
Dalam tidak diperkenankan berdagang oleh adat.
Peraturan adat hanya melarang masyarakat Baduy untuk makan daging
kambing, anjing, dan kucing serta minum sesuatu yang memabukkan.
Aturan ini menyebabkan es lilin, minuman ringan (soft drink), susu,
roti, dan makanan ringan dengan mudah diterima masyarakat Baduy.
Jika bepergian ke kota, orang Baduy Dalam biasa membawa oleh-oleh
buah-buahan atau makanan yang tak ada di kampungnya. “Habis enggak
ada lagi yang boleh dibeli,” ungkap Sanif (25), warga Baduy Dalam
berambut gondrong yang biasa membawa jeruk, apel, anggur, dan
kelengkeng.
Di Jakarta, beberapa kali mereka dijamu makan di restoran mewah
oleh kenalannya. Jangan heran kalau orang-orang Baduy Dalam bisa
bercerita soal Toserba Sarinah atau Mal Pondok Indah.
PERGAULAN dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan
dengan teknologi modern yang selama ratusan tahun dilarang oleh adat.
Seperti masyarakat lain, mereka menonton televisi, menggunakan jam
tangan, dan bahkan memiliki radio. “Kalau boleh beli motor, mau juga
sih punya,” kata Saliya (27) sambil tertawa.
Orang Baduy Luar maupun Dalam kadang-kadang nonton televisi di
rumah warga luar Baduy. Orang-orang Cibeo menonton di Ciboleger yang
jaraknya sampai 12 km. Sementara orang Baduy dari Kampung Batubelah
menonton ke Cijahe yang jaraknya 3 km.
“Kalau malam, orang-orang Baduy datang dengan membawa obor untuk
menonton televisi,” tutur Acih, seorang warga Cijahe. “Nonton mah
meunang. Mun boga tivi, teu meunang ku adat,” ujar Kuenci (67), buruh
tani yang mengatakan bahwa adat tidak melarang mereka menonton, yang
tidak diperbolehkan adalah memiliki televisi.
Kuenci selalu mampir untuk menonton televisi sepulang bertani di
Leuwidamar. Jumat (3/9) siang, ia tengah menonton siaran berita,
mengaku meski tak mengerti bahasa Indonesia, tapi ia menyukai gambar-
gambar bergerak di televisi.
Sanip (28) yang tiga bulan lalu berganti status dari Baduy Dalam
menjadi Baduy Luar pun sudah menggunakan jam tangan. Begitu juga
Saliya yang sejak lahir berstatus warga Baduy Luar. “Jam ini dikasih
teman tahun kemarin,” ucap Saliya. Ia mengaku belajar membaca jam
tangan selama setahun.
Buat Saliya dan Sanip, fungsi jam tidak hanya sebagai penunjuk
waktu, tetapi juga untuk “gaya-gayaan”. Saliya yang berasal dari
Kampung Kaduketug dan Sanip dari Kampung Balimbing menanggalkan jam
tangan sebelum masuk kampungnya.
“Tidak berani pake, takut kena marah orang tua atau jaro,” kata
Saliya, ayah dua anak ini. Jaro adalah wakil dari pemimpin adat yang
berhubungan langsung dengan warga. Jaro terdapat di setiap kampung
Baduy. Jaro berkedudukan di bawah puun.
Di Kampung Kaduketug (Baduy Luar), banyak warga memiliki radio.
Setiap sebulan sekali, jaro memperingatkan warga agar selalu taat
pada adat. “Sebetulnya sih takut. Tapi jaro-nya juga punya,” kata
Antiwin (26).
Tak cuma radio, Yuli warga Baduy Luar bahkan sudah punya telepon
seluler atau ponsel. Beberapa warga Baduy Dalam, meski tak punya
ponsel dan tak dapat baca-tulis, dapat menggunakan telepon. Jangan
kaget jika ada orang Baduy Dalam bilang, “Saya minta alamat dan nomor
HP kamu, ya.”
“Saya suka telepon lewat wartel di Ciboleger. Tadinya memang
enggak kenal angkanya. Tetapi, disamakan saja antara gambar nomor di
telepon dan di catatan saya,” ungkap Jarmin.
ORANG Baduy sehari-hari berbahasa Sunda kasar. Bahasa yang
dipakai mereka tidak mengenal tingkatan bahasa atau pemakaian bahasa
berdasarkan status sosial. Rasa hormat pada orang lain tidak
diperlihatkan lewat kata-kata khusus, tetapi lewat tingkah laku
mereka.
Adat mengharuskan mereka berbahasa Sunda untuk mempertahankan
kemurnian budaya masyarakat. Namun, tak sulit menemukan orang Baduy
yang bisa berbahasa Indonesia, terutama di Baduy Luar. Mereka yang
fasih berbahasa Indonesia biasanya orang-orang yang sering bepergian
ke kota.
Selain berbahasa Indonesia, beberapa orang Baduy Dalam bisa pula
menggunakan kata-kata berdialek Betawi, bahkan mengeluarkan kosakata
bahasa Inggris. “Temen saya yang tinggal di Pondok Indah, Jakarta,
punya istri orang Australia. Saya sering denger mereka ngomong bahasa
Inggris,” ujar Jakri menjelaskan dari mana ia mendapatkan pengetahuan
tentang bahasa Inggris.
Orang Baduy juga senang bercanda, tetapi hanya dengan orang yang
sudah dikenalnya. “Kalau belum kenal, saya diam saja,” aku Sanif yang
sering bercanda dan saling bertukar pengetahuan bahasa Indonesia
dengan teman-temannya. Sanif juga bisa berdialek Betawi karena sering
berdagang di Jakarta.
Berteman akrab dengan orang Baduy Dalam tidak sulit karena orang-
orang Baduy bersikap terbuka terhadap orang asing. Ayatrohaedi
membenarkan hal itu. Sewaktu ia datang ke Baduy tahun 1967 dan tidak
memiliki tempat menginap, seorang warga Baduy dengan tulus menawari
untuk menginap di rumahnya. (Y01/Y02/Y09/Y10/nas)
nenek moyang mereka. Mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang
dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi
tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini.
Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang,
tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orangtua mereka. Kalau
ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai
ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung
pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Akan tetapi, orang Baduy adalah manusia biasa yang punya
keinginan untuk sedikit berbeda. Ketika di antara mereka berjalan-
jalan menuju daerah lain atau bahkan hingga Jakarta dengan berjalan
kaki, ada juga yang ingin mencoba minuman Sprite atau Coca-Cola.
Ketika Kompas mengajak beberapa warga Baduy Dalam berjalan-jalan
hingga ke Rangkasbitung, di tengah jalan mereka haus. Saat ditawari
minum, mereka ternyata memilih minuman Coca-Cola di kotak minuman
pinggir jalan. Coca- Cola adalah jenis minuman yang tidak dikenal
kakek-nenek mereka.
“Saya pernah makan di McDonaldÆs,” tutur Jakri (29), salah
seorang warga Baduy Dalam. Makan di restoran waralaba dari Amerika
Serikat itu rasanya bukan hal yang aneh, namun terasa janggal untuk
Jakri yang berasal dari Kampung Cibeo, Kecamatan Leuwidamar.
MASYARAKAT Baduy hidup dengan aturan adat yang ketat. Di Baduy
Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar yang masih memperbolehkan
naik kendaraan.
Meskipun melihat berbagai barang berteknologi yang dibawa oleh
wisatawan, masyarakat Baduy Dalam masih mempertahankan adat mereka.
Mereka masih “setia” berjalan kaki, mengedepankan kejujuran,
menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok.
Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy
Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan
berkendaraan.
Menurut Jaro Cikeusik, Alim, apa yang dibawa masyarakat luar-
sepanjang tidak bertentangan dengan adat-tidak memengaruhi kehidupan
masyarakat Baduy Dalam. Jaro Alim menegaskan, adat yang dilanggar
diyakini bisa menyebabkan bencana alam dan mengundang berbagai
penyakit.
SUKU Baduy sering disebut urang Kanekes. Mereka tinggal di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini
berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung,
atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung
Baduy.
Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan
Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya.
Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping,
yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Untuk menuju Baduy Dalam, pengunjung bisa naik mobil dari
Rangkasbitung ke terminal Ciboleger atau menyewa sampai ke Cijahe,
lalu diteruskan dengan berjalan kaki untuk sampai ke kampung Baduy
Dalam.
DALAM keseharian, kaum lelaki dari Baduy Dalam menggunakan ikat
kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki
menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak
kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben
biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan
gelang dan kalung dari manik.
Lelaki dari Baduy Luar menggunakan ikat kepala biru bermotif
batik. Perempuannya menggunakan kain batik dan baju biru tua atau
hitam. Namun, banyak juga di antara mereka berkaus dan bercelana jins.
Menurut Yuli (33), warga Baduy Luar, dalam sebulan ratusan orang
datang ke Baduy. Mereka berlatar belakang pendidikan, ekonomi, dan
sosial yang beragam. Interaksi warga Baduy dengan masyarakat lain
menyebabkan perubahan gaya hidup warga Baduy.
Menurut pakar budaya dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI,
Prof Dr Ayatrohaedi (65), perubahan pada suatu masyarakat tidak dapat
dihalangi. Adat tak dapat berbuat banyak menghadapi perubahan. Adat
sering kali hanya menerapkan peraturan, namun tidak mampu
menindak.
Kalau dulu masyarakat Baduy cukup makan dengan nasi, ikan asin
dan garam, kini mereka gemar makan mi instan. Menurut Nasib (25),
salah seorang pedagang makanan yang berkeliling dari Baduy Luar
hingga Baduy Dalam, rata-rata sepekan ia bisa menjual 10 kardus atau
400 bungkus mi instan.
Tak cuma mi instan, menyantap spageti dengan sumpit pun tidak
membuat mereka kikuk. Awal September lalu, Narpa (45) dan dua
anaknya, serta beberapa lelaki Baduy lahap menyantap makanan Italia
yang disajikan tamu dari Jakarta yang menginap di rumahnya. Hanya
istri Narpa saja yang mengaku tidak doyan.
Pergeseran selera makan pun terjadi pada anak-anak. Jarmin (46),
warga Kampung Cibeo, mengaku, di masa anak-anak ia hanya memakan
pisang bakar sebagai camilan. Kini ia harus mengeluarkan Rp 10.000
untuk jajan tiga anaknya yang gemar camilan-camilan dalam kemasan,
permen, atau minuman kemasan.
Penjual makanan datang dari luar Cibeo sebab masyarakat Baduy
Dalam tidak diperkenankan berdagang oleh adat.
Peraturan adat hanya melarang masyarakat Baduy untuk makan daging
kambing, anjing, dan kucing serta minum sesuatu yang memabukkan.
Aturan ini menyebabkan es lilin, minuman ringan (soft drink), susu,
roti, dan makanan ringan dengan mudah diterima masyarakat Baduy.
Jika bepergian ke kota, orang Baduy Dalam biasa membawa oleh-oleh
buah-buahan atau makanan yang tak ada di kampungnya. “Habis enggak
ada lagi yang boleh dibeli,” ungkap Sanif (25), warga Baduy Dalam
berambut gondrong yang biasa membawa jeruk, apel, anggur, dan
kelengkeng.
Di Jakarta, beberapa kali mereka dijamu makan di restoran mewah
oleh kenalannya. Jangan heran kalau orang-orang Baduy Dalam bisa
bercerita soal Toserba Sarinah atau Mal Pondok Indah.
PERGAULAN dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan
dengan teknologi modern yang selama ratusan tahun dilarang oleh adat.
Seperti masyarakat lain, mereka menonton televisi, menggunakan jam
tangan, dan bahkan memiliki radio. “Kalau boleh beli motor, mau juga
sih punya,” kata Saliya (27) sambil tertawa.
Orang Baduy Luar maupun Dalam kadang-kadang nonton televisi di
rumah warga luar Baduy. Orang-orang Cibeo menonton di Ciboleger yang
jaraknya sampai 12 km. Sementara orang Baduy dari Kampung Batubelah
menonton ke Cijahe yang jaraknya 3 km.
“Kalau malam, orang-orang Baduy datang dengan membawa obor untuk
menonton televisi,” tutur Acih, seorang warga Cijahe. “Nonton mah
meunang. Mun boga tivi, teu meunang ku adat,” ujar Kuenci (67), buruh
tani yang mengatakan bahwa adat tidak melarang mereka menonton, yang
tidak diperbolehkan adalah memiliki televisi.
Kuenci selalu mampir untuk menonton televisi sepulang bertani di
Leuwidamar. Jumat (3/9) siang, ia tengah menonton siaran berita,
mengaku meski tak mengerti bahasa Indonesia, tapi ia menyukai gambar-
gambar bergerak di televisi.
Sanip (28) yang tiga bulan lalu berganti status dari Baduy Dalam
menjadi Baduy Luar pun sudah menggunakan jam tangan. Begitu juga
Saliya yang sejak lahir berstatus warga Baduy Luar. “Jam ini dikasih
teman tahun kemarin,” ucap Saliya. Ia mengaku belajar membaca jam
tangan selama setahun.
Buat Saliya dan Sanip, fungsi jam tidak hanya sebagai penunjuk
waktu, tetapi juga untuk “gaya-gayaan”. Saliya yang berasal dari
Kampung Kaduketug dan Sanip dari Kampung Balimbing menanggalkan jam
tangan sebelum masuk kampungnya.
“Tidak berani pake, takut kena marah orang tua atau jaro,” kata
Saliya, ayah dua anak ini. Jaro adalah wakil dari pemimpin adat yang
berhubungan langsung dengan warga. Jaro terdapat di setiap kampung
Baduy. Jaro berkedudukan di bawah puun.
Di Kampung Kaduketug (Baduy Luar), banyak warga memiliki radio.
Setiap sebulan sekali, jaro memperingatkan warga agar selalu taat
pada adat. “Sebetulnya sih takut. Tapi jaro-nya juga punya,” kata
Antiwin (26).
Tak cuma radio, Yuli warga Baduy Luar bahkan sudah punya telepon
seluler atau ponsel. Beberapa warga Baduy Dalam, meski tak punya
ponsel dan tak dapat baca-tulis, dapat menggunakan telepon. Jangan
kaget jika ada orang Baduy Dalam bilang, “Saya minta alamat dan nomor
HP kamu, ya.”
“Saya suka telepon lewat wartel di Ciboleger. Tadinya memang
enggak kenal angkanya. Tetapi, disamakan saja antara gambar nomor di
telepon dan di catatan saya,” ungkap Jarmin.
ORANG Baduy sehari-hari berbahasa Sunda kasar. Bahasa yang
dipakai mereka tidak mengenal tingkatan bahasa atau pemakaian bahasa
berdasarkan status sosial. Rasa hormat pada orang lain tidak
diperlihatkan lewat kata-kata khusus, tetapi lewat tingkah laku
mereka.
Adat mengharuskan mereka berbahasa Sunda untuk mempertahankan
kemurnian budaya masyarakat. Namun, tak sulit menemukan orang Baduy
yang bisa berbahasa Indonesia, terutama di Baduy Luar. Mereka yang
fasih berbahasa Indonesia biasanya orang-orang yang sering bepergian
ke kota.
Selain berbahasa Indonesia, beberapa orang Baduy Dalam bisa pula
menggunakan kata-kata berdialek Betawi, bahkan mengeluarkan kosakata
bahasa Inggris. “Temen saya yang tinggal di Pondok Indah, Jakarta,
punya istri orang Australia. Saya sering denger mereka ngomong bahasa
Inggris,” ujar Jakri menjelaskan dari mana ia mendapatkan pengetahuan
tentang bahasa Inggris.
Orang Baduy juga senang bercanda, tetapi hanya dengan orang yang
sudah dikenalnya. “Kalau belum kenal, saya diam saja,” aku Sanif yang
sering bercanda dan saling bertukar pengetahuan bahasa Indonesia
dengan teman-temannya. Sanif juga bisa berdialek Betawi karena sering
berdagang di Jakarta.
Berteman akrab dengan orang Baduy Dalam tidak sulit karena orang-
orang Baduy bersikap terbuka terhadap orang asing. Ayatrohaedi
membenarkan hal itu. Sewaktu ia datang ke Baduy tahun 1967 dan tidak
memiliki tempat menginap, seorang warga Baduy dengan tulus menawari
untuk menginap di rumahnya. (Y01/Y02/Y09/Y10/nas)
“Perubahan pada suatu masyarakat tidak dapat dihalangi. Adat tak
dapat berbuat banyak menghadapi perubahan. Adat sering kali hanya
menerapkan peraturan, namun tidak mampu menindak.”
dapat berbuat banyak menghadapi perubahan. Adat sering kali hanya
menerapkan peraturan, namun tidak mampu menindak.”
sumber:Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar